Minggu, 09 Februari 2014

OSTEOARTHRITIS pada LUTUT

OSTEOARTHRITIS pada LUTUT
1.      Pengertian

OA adalah ‘sekelompok kondisi heterogen yang menyebabkan timbulnya gejala dan tanda pada lutut yang berhubungan dengan defek integritas kartilgo, dan perubahan pada tulang di bawahnya dan pada batas sendi (American Rheumatism Association (ARA)).
Osteoarthritis atau disebut juga penyakit sendi degeneratif adalah suatu kelainan pada kartilago (tulang rawan sendi ) yang ditandai dengan perubahan klinis, histologis, dan radiologis. Penyakit ini bersifat asimetris, tidak meradang dan tidak ada komponen sistemik (Slamet, 2000).
Predisposisi timbulnya OA : trauma, mekanik, hormon, metabolik, infeksi, genetik.
Patofisiologi (Brandt, 2001) :
        Komponen kartilago normal tetapi beban >>
        Beban normal tetapi komponen kartilago abnormal
  Pengikisan cartilago awalnya pd 1 tempat di permukaan kmd menyebar (Schumacher, 1988)

2.    Diagnosa OA lutut

a.    Kriteria OA menurut Altman, 1991 :

1.     Nyeri lutut beberapa hari sampai beberapa bulan
2.    Krepitasi
3.    Morning stiffness < 30 menit
4.    Umur > 38 th
5.    Pembesaran tulang
6.    Px Lab.: Leukocyt PNM > 2.000/mm3
7.    Px RO : osteofit
Dikatakan OA bila memenuhi kriteria 1 & 7, atau 1, 2, 3 dan 6

b.    Kriteria OA menurut American Rheumatism Association (Shumacher, 1988) :

1.     Usia > 50 th
2.    Morning stiffness < 30 menit
3.    Krepitasi
4.    Nyeri tekan pada tulang
5.    Pembesaran tulang
6.    Sekitar sendi tidak teraba hangat
Positif OA bila memenuhi min. 3 kriteria.

c.       Kriteria OA menurut Kellgren – Lawrence (Albar, 2004) :

1..        grade I, ragu-ragu, tanpa osteofit, permukaan sendi normal
2. grade II, minimal, osteofit sedikit pada tibia dan patella dan permukaan sendi menyempit asimetris
3. grade III, moderat, adanya osteofit moderat pada beberapa tempat, permukaan sendi menyempit, dan tampak sklerosis subkondral
4. grade IV, berat, ada osteofit yang besar, permukaan sendi menyempit secara komplit, sklerosis subkondral berat, dan kerusakan permukaan sendi.

3.    Problematik Fisioterapi

·         Impairment : adanya nyeri lutut baik berupa nyeri tekan maupun nyeri gerak sehingga menimbulkan keterbatasan gerak fleksi/ekstensi lutut, serta penurunan kekuatan otot karena kurangnya aktivitas gerak
·         Funcional limitation : aktivitas jongkok, duduk ke berdiri, berjalan, dan naik turun tangga akan mengalami gangguan karena adanya nyeri
·         Disability / Participation Restriction: penderita tidak dapat beraktivitas di lingkungannya baik di lingkungan sekitar maupun lingkungan kerja

4.    Pengukuran

·         Pengukuran nyeri : VAS (100mm)
·         Pengukuran lingkar segmen : pita ukur
·         Pengukuran LGS : ISOM
·         Pengukuran nilai kekuatan otot : MMT
·         Pengukuran kemampuan fungsional : skala Jette

5.    Terapi

·         TENS : mengurangi sensitivitas ujung saraf dg cara menutup pintu nyeri
-      High Frekuensi TENS (100Hz) dapat meningkatkan tekanan ambang rangsang nyeri (Carol et all, 2012)
-      Strong burst mode TENS (3 Hz stimulasi dan 7 Hz istirahat) :pumping mechanism untuk mengurangi bengkak dan kekakuan sendi (Grimmer, 1992)
·         SWD (Jan M-H, Chai H-M, Wang C-L, Lin Y-F & Tsai L-Y (2006)) :
-      Posisi px     ; terlentang dengan lutut lurus
-      Intensitas  : pasien merasa hangat
-      Waktu        : 20 menit (untuk setiap lutut)
-      Frekuensi   : 3 – 5 x/mg
-      Durasi        : 2-3 mg (10 sesi) : Ketebalan synovial berkurang 81% - 84% & penurunan nyeri
-      Durasi        : 8 mg (30 sesi) : Ketebalan synovial berkurang 67% - 72% & penurunan nyeri
·         Flexibilitas otot : static stretching (American geriatrics society(2001))
Awal : stretch sampai pasien merasa ada tahanan otot, 1 strech group otot, tahan posisi 5-15 detik, frekuensi sehari sekali, goal : stretch sampai full ROM, 3-5 strech group otot, tahan posisi 20-30 detik, frekuensi 3-5 kali/mg, selama 4 mg
·         Strengthening Quadricep
-      Fisher dan Pendergast : perbaikan fungsi kecepatan berjalan 50feet
-      Lat. isotonik dan lat. endurance : mineralisasi (+) (Setiyohadi, 2003)
·         American College of Sports & Medicine (American Geriatrics Society, 2001) :
-      Intensitas latihan dimulai 40% dari 1 Repetition Maximum (RM)
-      1 RM adalah beban maksimal yang dapat diangkat satu kali melewati sebuah LGS.
-      Beban maksimal 80% dari 1 RM.
-      Latihan dilakukan 1-4 seri dan 1 seri dilakukan 6-8 kali pengulangan untuk menghindari kelelahan otot.
-      Frekuensi latihan 2-3 kali/mg
 ·         Metode Holten (Fedec, 2010) :
-      Intensitas 90%-100% 1 RM, repetisi 1-4 kali, 1 set (3-6) pengulangan, istirahat 1-3 menit diantara sesi, frekuensi 2-3 kali/mg, selama 4 mg
·         Metode Delorme (arnheim & Prentice, 1993) :
-      10 reps @   50% of 10RM
-      10 reps @   75% of 10RM
-      10 reps @ 100% of 10RM
(delorme and oxford strengthening protocol)
·         American geriatrics society (2001) :
# Lat. Isometrik :
-      Low-Moderate : intensitas 40%-60% MCV, 1-10 submaximal kontraksi group otot,tahan kontraksi 1-6 detik, frekuensi setiap hari
# Lat.isotonik :
(1)          Low : intensitas 40% 1 RM, repetisi 10 – 15 kali, 1 set (4–6) pengulangan, frekuensi 2-3 kali/mg, selama 4 mg
(2)         Moderate   : intensitas 40-60% 1 RM, repetisi 8 – 10 kali, 1 set (4–6) pengulangan, frekuensi 2-3 kali/mg, selama 4 mg
(3)         High : intensitas > 60% 1 RM, repetisi 6 – 8 kali, 1 set (4–6) pengulangan, frekuensi 2-3 kali/mg, selama 4 mg

















































Rabu, 12 September 2012

                                                          LEBARAN TAHUN 2012

Selasa, 29 Mei 2012






aku dan kabah

Allahuakbar.... labait Allahu labait
labait la sarikala labait
serasa tidak sadar, mimpi ketika aku melihat kabah yang agung, dan seperti terengganga
ya Allah  ini lah kiblat yang engkau wajib disembah sebagai seorang Islam


Senin, 11 April 2011

Tubercolosis and govermant stategy

At present, prevention of Tuberculosis (TB) in Indonesia has experienced significant progress, marked the achievement of the target leading indicator (the discovery and treatment success) and the decrease Indonesia's ranking from rank 3 to rank 5 countries with the highest number of TB sufferers in the world ", said Minister dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH when opening the National Congress of Tuberculosis (Konas-TB), both in Jakarta.

She believed that, at the end of 2010, Indonesia has reached 77.3% from 70% case detection target and has reached 89.7% treatment success target of 85% of the target while the death rate from tuberculosis has been successfully lowered more than 50% of 92/100.000 in 1990 to 27/100.000 in 2010. This success must be maintained even have to be increased to reduce the prevalence, incidence, and mortality from TB.

"Progress was also achieved in reducing mortality and morbidity. If in 2009 found 528,063 new TB cases with 91,369 deaths, that number can be reduced to 430,000 new cases of TB with the death of 61,000 people ", said Minister of Health.

She believed that progress was achieved because the new approach in controlling TB through Directly Observed Treatment Strategy Shortcourse (DOTS) has been implemented in Indonesia since 2000. Followed by outreach activities, identification of cases, more intensive treatment and TB control infrastructure has also been improved through a systematic program development.

Although progress has been achieved, many problems still faced such a stagnant rate of cases, barriers to gain access to diagnostics, and reporting are not adequate. Another important obstacle is the system of care that is still weak, lack of trained personnel, inadequate surveillance of TB cases in hospitals and private practice and ineffective management of TB drugs. Many doctors still do not understand the DOTS strategy, and community empowerment has been limited.

This Congress is a series of commemoration activities of World TB Day 2011. World TB Day commemoration in 2011 took the theme "Breakthrough Against Tuberculosis TB-Free to Indonesia." Konas aim to TB-2 is to strengthen policies in improving the performance of TB control is associated with acceleration of poverty control, so as to accelerate the reduction of morbidity and mortality of TB in line with the objectives of the MDGs.

Senin, 16 Maret 2009

Muscle Relaxants

Skeletal muscle relaxation can be produced by deep inhalational anesthesia, regional nerve block, or neuromuscular junction blocking agents ( commonly called musclar relaxants). in 1942 Harorld publized the result of syudy using a refined axtract of curare during anesthesi.

MECHANISM OF ACTION

Neuromuscular blocking agents are devided into two classes : depolarizing and nondeporarizing, this division ferlects distinc differences in :
1. mechanism of action
2. resonse to peripheral nerve stimulation and
3. reversal of block

mechanism of action

depolarizing muscle relaxants physically resemble ACh and therefore bind to ACh reseptor, generating a muscle action potensial, however, unlike ACh these drugs are not metabolized by acetylcholinesterase, thus their consentration in the synaptic cleft doest not fall as rapidly, resulting in a prolonged deporarization of the muscle endplate.
Continuous endplate depolarization causes muscle relaxation in the following way. As has been explained, an endplate potensial of sufficient strength will result in generation of an action potential in the neighboring perijuctional muscle membrane. However, the subequent opening of perijunctional sodium chanels is time-limeted. After initial-axcitation and opening, these ion chanels close. furthermore, these sodium chanels cannot reopen until the endplate repolarizes, which is not possible as long as a depolarizer continues to bind to ACh reseptors. once the perijunctional chanels close, the action potensial disappears and the membrane downstream return to its resting state, resulting in muscle relaxation, tihs is a phase i block.
Nondepolarizing muscle relaxants aso bind to ACh reseptor but are incapable of inducing the conformational change necessary for ion chanel opening since ACh is precluded from binding to its reseptors no endplate potensial develops.

Rabu, 25 Februari 2009

MANAjEMEN NYERI PADA PASIEN BEDAH


Pendahuluan
Defenisi Nyeri menurut the Internasional Association for the Study of Pain adalah an unpleasant sensory and amotional expreince assosiated with actual or potential tissue demage, or describe interms such damage sedangkan yang dimaksud dengan nyeri pascah bedah akut adalah suatu kompleks reaksi fisiologis terhadap trauma jaringan, distensi viseral, atau penyakit dahulu penatalaksanaan nyeri pascah bedah tidak begitu menjadi prioritas baik oleh ahli bedah maupun oleh ahli anestesi, sehingga seorang pasien mendapat nyeri sebagai bagian dari pengalaman pasca bedah yang tidak dapat dihindari. Pengolahan nyeri pascah bedah yang tidak tepat atau keterlambatan penangananya dapat meimbulakan perubahan fisiologi tubuh, berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, serta menggangu kerja otot-otot tubuh, memperlambat mobilisasi sehingga meningkatkan resiko trombosis, selain itu juga menyebabkan gangguan psikologis seperi rasa takut, cemas dan gangguan tidur. dengan semakin berkembangnya pemahaman terhadap patofisiologi dan epedimiologi nyeri, perhatian terhadap penatalaksanaan nyeri semakin meningkat sebagai usaha untuk meningktkan pelayanan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasca bedah.
Pemberian opioid melalui infus kontinu dan melalui sistem pasient controlled analgesia (PCA) adalah merupakan pilihan lain saat ini, tetapi bagaimanapun juga ini tidak bisa menghilangkan secara total masalah seperti samnolen atau sedasi selama periode pasca bedah. Pemberian opioid melalui ruang subarocnoid dan epidural merupakan cara lain yang dapat memberikan analgesia pasca bedah yang baik. komplikasi yang sering timbul dengan teknik ini pada dosis tinggi adalah dapat menyebabkan depresi pernapasan yang berat atau apneu, komplikasi ringan retensi urin pruritus, nausea dan vomitus.
the agency for heatlh care policy and research( AHCPR ) dari depertemen of healthhuman servis Amerika serikat memplubikasikan panduanpraktis penatalaksanaan nyeri akut, dimana bila tidak didpatkan kontraindikasi, tetapi farmakologi untuk nyeri pascabedah yang ringan-sedang harus dimulai dengan nonstreroid anti-inflamatory drugs ( NSAID ). NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan dan tidak mempengaruhi fungsi usus atau kandung kencing
PATOFIOLOGI NYERI
Proses Fisiologi Nyeri
Kerusakan jaringan adalah merupakan sumber rangsang nyeri ( noxious stimuli ). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor nyeri ( nosiseptor ) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh, kemudian melalui serabut saraf A delta ( myelinated dan fast conduction ) dan serabut saraf C ( unmyelinated dan slow condustion ) akan diteruskan susunan saraf pusat sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nonsipsi.
Nonsepsi ini meliputi 4 proses fisiologis yaitu :
1. Tranduksi
yaitu proses dimana suatu rangsang nyeri ( nonsius stimuli ) baik fisik ( tekanan, suhu ) maupun kimia ( substansia nyeri ) diubah menjadi aktivitas listrik yang kan diterima ujung-ujung saraf sensoris ( nerve ending )
2. Tranmisi
yaitu proses penjalaran rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris sebagai kelanjutan dari proses transduksi
3. Modulas
yaitu : terjadinya interaksi antarasistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Merupakan suatu proses desenden yang dikontrol oleh otak. yang termasuk anlgesik endogen adalah opioat endogen, seretogenik, dan noradrenergik yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri di kornu posterior.
kornu posterior ini merupakan gate yang dapat membuka atau menutup dalam menyalurkan asupan nyeri. Proses ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional, budaya dan besarnya kerusakan jaringan. modulasi menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan sangat ditentukan oleh makna atau arti asupan nyeri.
4. Persepsi
adalah proses akhir dari suatu mekanisme nyeri yang dimulai dengan tranduksi, transmisi dan modulasi yang akhirnya menghasilkan persepsi nyeri yang sangat subyektif yang sangat dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan status emosi dan jenis kelamin.
Sensasi perifer
Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepasnya sejumlah subtansia nyeri berupa ion K, H, bradikinin, histamin, prostaglandin dan substansia P dan lain sebainya. Substansia nyeri ini akan merangsang ujung-ujung saraf A delda dan serabut C ( nosiseptor ). Substansia P dan prostaglandin akan meningkatkan sensitasi dan mengaktifkan nosiseptor. Prostaglandin inilah yang diduga memegang peranan besar dalam respon inflamasi dan nyeri. Semakin banyak suntansia nyeri dilepaskan akan semakin banyak nosiseptor yang diaktifkan dan diikuti dengan peningkatan sensivitas dari nosiptor itu sendiri. Proses pengkatan jumlah dan sensivitas nosiseptor tersebut menyebabkan proses tranduksi menjadi lebih sensitif pula, hal ini yang meyebabkan ransang nyeri akan dirasakan lebih hebat dan berlangsung lama, walaupun rangsang sudah dihentikan
Sensasi sentral
sensitisasi sentral terjadi di kornu posterior medula spinalis sebagai akibat masuknya impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior. transmiter glutamat yang dilepaskan akan mengaktifkan reseptor NMDA ( N methyl-D-aspartic), akibat aktivasi NMDA tersebut maka ion Na+ dan Ca mengalami influk sehingga terjadi proses depolarisasi. suatu impuls nyeri yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya sumasi potensial pada kornu posterior sehingga terjadi proses depolarisasi yang berkepanjanan, yang menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas kornu posterior yang disebut sensitisasi sentral, sensitisasi sentral inilah yang menyebabkan nyeri sekarang dapat menimbulkan nyeri yang dalam klinikdikenal allodinia.
opiat adalah antagonis dari reseptor dari NMDA, oleh karena itu pemberian opiat dapat mencegah terjadinya hipersensitisasi sentral, inilah yan menjadi dasar mengapa opiat diperlukan untuk pengobatan nyeri yang hebat. aktifasi reseptor NMDA juga menyebabkan terbentuknya prostaglandin di medula spinalis, hal ini yang mendasari bahwa NSAID juga bekerja secara sentral di medula spinalis.
proses modulasi perifer dan sentral inilah yang mendasari konsep tentang plantasitas susunan saraf ( dimana terjadi perubahan sifat saraf akibat adanya rangsang nyeri yang terus menerus ) dan menjadi dasar pengolahan nyeri, baik nyeri akut, kronik ataupun kanker. oleh karena itu setiap nyeri akut harus segera dikelola dengan cepat dan baik, karena dapat menjadi nyeri kronik yang akan sulit diobati.
Komponen Respon stress bedah
Trauma akibat pembedahan akan mengalami suatu komplek rangkaian peristiwa fisiologis yang melibatkan pelepasan senyawa nonsiseptif, diantaranya prostaglandin dari ujung serabut saraf dan jaringan yang rusak. Kejadian ini menimbulkan reaksi inflamasi yang hiperalgesia yang menimbulkan gangguan fisiologi pascah bedah yang perlu dikendalikan, sudah menjadi ketetapan bahwa analgesik yang efektif pasca bedah adalah penting tidak hanya karena lasan kemanusian, lebih dari itu karena nyeri pasca bedah dapat menimbulkan efek yang merugikan pada sistem organ spesifik dan berpengaruh negatif pada masa pemulihan.
Pengaruh Anestesi terhadap respon stress bedah dan outcome
Anestesi umum tidak jelas pengaruhnya terhadap respon stress endokrin ( kecuali bila menggunakan opioid dosis tiggi atau minimum alveolar concentration (MAC) abat anestesi Volatil). Anestesi dan anlgesik dapat mengblokade respon kortisol terhadap stress jika operasi berada dibawah daerah sensoris yang diblok. outcome lebi baik yang dihubungkan dengan anestesi regional tergantung pada kelanjutan blokade neuraksial sentral intraoperatif sampai pascah bedah.

Minggu, 22 Februari 2009

Induksi dan ruwatan anestesi


Induksi Anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindak pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi diperlukan, sehingga seandaninya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.
Untuk persiapan induksi anestesi kita ingat kata STATICS :

S : Scope Stetoskop, untuk mendengar suara paru dan jantung. laringo-scope. Pilih bilah atau daun yang sesuai dengan usia pasien. lampu harus cukup terang.

T: Tubes Pipa trakea. pilih sesuai usia, usia <> 5 tahun dengan
balon.

A: Airway Pipa mulut-faring ( Guedel, orotracheal airway ) atau pipa hidung-faring ( naso-tracheal airway ). pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T: Tape Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introduser Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik ( kabel) yang mudah dibengkokan untuk memandu supaya pipa trachea mudah dimasukan.

C: Conector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

S: Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainya.

INDUKSI INTRAVENA

Induksi intravena paling banyak dikerjakan an digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena ( infus ), karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, pelan-pelan, lembut dan terkendali. Obat induksi disuntikan dalam kecepatan antara 30 - 60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Jenis - jenis Obat induksi intravena :
1. Tiopental ( tiopenton, pentotal) diberikan sacara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3 - 7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
2. Propofol ( Recofol, diprivan ) intravena dengan kepekatan 1 % menggunakan dosis 2 - 3 mg/kgBB, suntikan Propofol intavena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
3. Ketamin ( Katalar ) intravena dengan dosis 1 - 2 mg/kgBB. Pasca anestesia dengan ketamin sering menimbulakan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedatif seperti midazolam ( dormikum ). ketamin tidak dianjurkan pada paien dengan tekanan darah tinggi ( tekanan darah > 160 mmHg. Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan ( fluotan ) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak-anak yang belum terpasang jalur vena atau pada orang dewasa yang takut dengan suntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2 induksi dimilai dengan aliran O2> 4 liter/menit atau campuran N2O : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturnkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Ruwatan Anestesia
Ruwatan anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena ( anestesia intravena total ) atau dengan campuran intravena inhalasi. Ruwatan anestesia biasanya mengacu pada Ttias anestesia yaitu Tidur ringan ( hipnotis ) sekesdar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama pembedahan tidak menimbulakan nyeri dan relaksasi otot luruk yang cukup.
Ruwatan anestesi intravena misalnya denganmenggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10 - 50 microgram/ kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan anlgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot, ruwatan intravena dapat juga menggunakan opioiddosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4 -12 mgkbBB/jam. Bedah lama dengan anestesi totol intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator, untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara dengan O2 atau N2O dengan O2.